Orang zaman dahulu yang hendak memperbaiki dunia, lebih dulu berusaha mengatur negerinya. Untuk mengatur negerinya, ia harus lebih dulu membereskan rumahtangganya. Untuk membereskan rumahtangganya, ia lebih dulu harus membina dirinya. Begitu sebuah anjuran dari seorang bijak –yang intinya– kita tidak bisa memperbaiki dunia jika kita tidak mencari apa yang kurang pada diri kita sendiri, lalu memperbaikinya terlebih dahulu. Namun yang kini kerap terjadi sungguh sebaliknya.
Orang memang lebih mudah melihat kesalahan orang lain dibandingkan melihat ke dalam diri. Begitu mudahnya kita melemparkan tuduhan kepada orang lain atas berbagai kejadian. Jika film yang dihasilkan tidak laku di pasaran, seorang sutradara akan menyalahkan pemainnya, jika target penjualan tidak tercapai, seorang supervisor akan menyalahkan para sales-nya, jika sebuah restoran tidak laku, si pemilik akan menyalahkan para kokinya.
Padahal bisa saja film tidak laku karena sang sutradara memang kurang kreatif membuat film yang bermutu, target penjualan tidak tercapai karena si supervisor salah strategi, atau restoran tidak laku akibat si pemilik menginvestasikan uangnya pada bisnis yang salah, bisnis yang tidak mereka pahami sebelumnya. Hal ini terjadi tidak hanya dari level atas ke bawah, namun juga sebaliknya.
Mengapa tidak dengan diam-diam menelaah permasalahannya. Jika tidak menemukan permasalahan di lapangan, mungkin sudah saatnya menelaah ke dalam diri. Siapa tahu sebetulnya diri kitalah yang melakukan kesalahan. Kesalahan berkreasi, kesalahan manajemen, kesalahan investasi, kesalahan strategi atau kesalahan yang lain. Lalu dengan terbuka melakukan berbagai perbaikan untuk kepentingan bersama. Jika perlu, memperbaiki diri sendiri untuk memberi manfaat bagi anak buah kita, keluarga kita dan orang-orang di sekeliling kita. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain? [HR. Bukhârî].
Namun fenomena yang terjadi di dalam masyarakat kita adalah terbiasanya kita menyalahkan orang lain. Bahkan dengan terbuka mengkritisi, mencemooh, hingga menghujat. Seolah-olah kita orang yang paling benar, yang paling pintar, yang paling hebat. Dan setiap ada masalah, setiap menemui jalan buntu, setiap menghadapi benturan, dengan cepat kita mencari-cari ke luar, mencari orang atau sekelompok orang yang tepat dijadikan kambing hitam.
Padahal dalam Islam berprasangka saja sudah dilarang, apalagi mencari-cari kesalahan orang lain [QS al-Hujurât [49]:12]. Seperti bercermin. Jika mendapati cermin tersebut menunjukan hal-hal yang tidak kita sukai, jangan salahkan cerminnya, tapi perbaiki penampilan kita sendiri. Namun sayangnya, kita lebih suka memecahkan cerminnya, daripada mendapati kenyataan yang tidak ingin kita ketahui. Karena kita tahu bahwa kesalahan itu ada pada diri kita. Bukankah ini sama dengan menipu diri sendiri? Jika terus menerus begini, bagaimana kita dapat menemukan inti dari permasalahan yang terjadi selama ini?
Berbahagialah orang yang dapat menemukan kesalahan dirinya sebelum menemukan kesalahan orang lain. Karena orang tersebut sama dengan satria yang berani dan jujur terhadap diri sendiri. Walaupun menanam kejujuran mungkin terasa pahit, namun buah yang dihasilkannya akan terasa manis. Karenanya, mengapa tidak mulai jujur membuka hati dan bersifat ksatria dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada.